News Update :

Malu disebut sebagai Politisi

Jumat, 20 Januari 2012

Inilah potret seorang budayawan yang secara sadar ‘menjerumuskan diri’ dalam dunia politik. Pilhan itu didorong pemahamannya tentang suasana batin rakyat dan bangsanya. Kendati, dalam kondisi perilaku para politisi saat ini, Ketua Umum DPP Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) ini sesungguhnya merasa malu disebut sebagai politisi. Ia jauh lebih bangga disebut seorang budayawan.

Menurut pemenang lima besar (nominator) Mike Burke’s Award, BBC Documentary Competition 1979, ini seorang budayawan lebih memahami makna kehidupan dan suasana batin rakyat. Hal mana aspek kesenian dan kebudayaan membantu seseorang memahami makna kehidupan.

“Para politisi tidak tahu tentang hal itu sebab tidak pernah tahu bagimana menikmati sebuah lukisan, merdunya musik dan pertunjukan konser. Yang ada dalam pikiran mereka hanya kursi, kursi, dan kursi saja,” kata Erros Djarot, putera bangsa kelahiran Rangkasbitung, Banten, 22 Juli 1950, ini dalam percakapan dengan Yayat Suryatna dan Mangatur Lorielcide Paniroy dari TokohIndonesia DotCom, Jumat 15 Agustus 2003 di Kantor DPP PNBK, Jalan Penjernihan I/56, Jakarta.

Menurut mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Detik, ini politik itu sebenarnya sebagai kanal alat penerjemahan kehendak kebudayaan bangsa. “Politik adalah salah satu komponen demokrasi, tetapi bukan sebagai segala-galanya. Tetapi kalau kita sendiri tidak bisa mengidentifikasi kehendak kebudayaan bangsa, maka bangsa ini tidak akan pernah sampai pada tujuannnya. Itulah kesalahan para politisi kita yang gagal dalam membawa bangsa ini, karena tidak mengerti kehendak kebudayaan bangsa kita, yang sesungguhnya sudah tercermin di dalam Pembukaan UUD 45. Itulah kehendak kebudayaan bangsa.”

Baginya seorang politisi (pemimpin politik) harus memahami suasasa batin rakyat dan bangsanya. Sebab bagaimana ia bisa memimpin rakyat dan bangsanya, jika tidak mengenal bahasa rakyatnya, tidak mengenal mimpi bangsanya.

Keputusannya membentuk partai baru pun didorong keyakinan bahwa dengan partai yang sesuai kehendak rakyatlah, maka bangsa Indonesia akan maju. Sementara itu, menurutnya, partai besar yang ada saat ini terlalu sibuk mengurusi diriya sendiri sehingga lupa dengan tugasnya untuk memperhatikan suara rakyat, dan membuat keputusan untuk mengakhiri penderitaan sebagian besar rakyat Indonesia.

Ketika Rezim Orde Baru masih tegak berdiri, Erros Djarot dikenal sebagai salah satu konseptor berdirinya PDI-Perjuangan. Ia dikenal dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Bahkan, sempat menjadi penulis naskah pidato Megawati. Namun, kedekatan itu tidak berlangsung lama. Ketika Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI, Erros termasuk yang gencar menyuarakan agar jabatan rangkap antara pimpinan partai dan pemimpin negara dipisahkan.

Kongkritnya, lelaki berkumis tebal itu meminta Mega melepaskan jabatannya dari ketua umum partai. Tampaknya, itu adalah pemicu keretakan dua tokoh tersebut. Akhirnya, Erros mundur dari partai berlambang banteng gemuk dan kemudian mendirikan partai baru yaitu Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK) kini menjadi Partai Nasional Banteng Kemerdekaan, juga dengan akronim PNBK.

Namanya sebagai budayawan mulai melambung ketika menciptakan karya musik monumental “Badai Pasti Berlalu”. Lagu tersebut merupakan soundtrack untuk film yang berjudul sama pada awal tahun 1970-an. Tahun 80-an, kembali namanya mencuat setelah berhasil menjadi sutradara film Cut Nya Dien yang juga monumental. Film itu konon menjadi film Indonesia termahal pada zamannya dan sekaligus proyek idealis Erros. Fil ini telah mengantarkan Indonesia untuk pertama kali berkibar di di Festifal Film Cannes, Perancis, sebuah festifal film internasional paling bergengsi.

Sukses di dunia musik dan film tidak lantas membuat adik dari aktor Slamet Rahardjo Djarot itu tetap di dunia entertainmen. Tahun 1990-an, ia malah memasuki dunia jurnalistik dengan menerbitkan Tabloid Detik. Tabloid ini pun menjadi fenomenal dan merupakan bacaan alternatif yang menyegarkan sekaligus mencerdaskan. Tapi akhirnya, tanggal 24 Juni 1994, tabloid yang kerap menyuarakan kritik kepada rezim Orde Baru itu dibredel.

Ketika nama Megawati memasuki kancah politik nasional, ternyata Erros ada di lingkaran elite Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada saat terjadi konflik antara Megawati dengan Soerjadi, Erros memilih berada di belakang Mega hingga akhirnya lahirlah partai baru PDI-Perjuangan dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Pada Pemilu 1999, PDI-P berhasil meraih suara terbanyak. Mega pun duduk di kursi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden. Bagaimana dengan Erros? Ternyata ia malah meninggalkan partai berlambang banteng gemuk itu.

Perpisahannya dengan PDI-P dikarenakan telah terjadinya perbedaan ideologis, politis, dan moral. Namun, ia enggan mengungkapkan itu lebih jauh. Ia lebih senang berbicara tentang masa depan dan strategi yang akan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada tanggal 25 Juli 2002, Erros Djarot mendirikan partai baru bernama Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK). Setelah munculnya undang-undang yang melarang penggunaan nama dan gambar orang sebagai nama dan gambar partai. PNBK pun kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK).

Bagi banyak orang, nama Erros Djarot lebih dikenal sebagai budayawan ketimbang sebagai politisi. Karya-karya budayanya banyak beredar dan mudah diapresiasi masyarakat. Walaupun sebenarnya sejak duduk di bangku sekolah ia sudah aktif dalam dunia politik sebagai kader ‘barisan Banteng’ selaku fungsionaris GSNI di Kota Yogya. Aktifitasnya di GSNI ini tampaknya memiliki andil besar menjadikannya seorang nasionalis-humanis.

Pada tahun 1970 ia melanjutkan studinya ke Sekolah Teknik Tinggi Koln, Jerman. Kemudian ia juga belajar di sekolah perfilman di Inggris. Selama 11 tahun ia berada di luar negeri yang membuatnya akrab dengan pergerakan internasional.

Ketika berangkat ke luar negeri, ia mengaku tidak memiliki dan tidak dibekali modal. Uang yang dipunyainya hanya 12 dollar. Namun, karena bekerja keras dan memiliki kemauan untuk maju, maka ia tetap bisa bertahan hidup dan kembali ke tanah air dengan banyak bekal ilmu dan pengalaman.

Ketika kembali ke Indonesia, Erros mulai tertarik terjun ke dunia politik praktis. Tahun 1983 ia mendirikan Litbang Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tahun 1988 ia sempat menonaktifkan diri dari politik praktis. Baru pada tahun 1993 kembali aktif ke panggung politik ketika Megawati Soekarnoputri dicalonkan sebagai Ketua Umum PDI menggantikan Soerjadi. Sebelumnya, tahun 1983-1986, Erros sempat menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas 17 Agustus.

Setelah tabloid Detik dibredel tahun 1994, Erros ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Di penghujung era Orde Baru dan awal era reformasi ia juga turut mendirikan LSM yang sering melakukan kritik terhadap pemerintah seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dan ICW (Indonesian Corruption Watch).

Malu jadi Politisi
Walaupun kini telah menjadi orang partai, namun kadang-kadang ia merasa malu dengan predikat politisi itu. “Saya kadang-kadang ngga suka dengan partai, dalam pengertian yang hari ini. Saya dipanggil politisi, aduh itu rasanya rendah sekali ya, lebih bagus disebut budayawan, itu saya bisa bangga. Karena politisi kelakuannya rusak, siapa yang tidak malu jadi politisi? Tetapi ini tugas yang harus saya jalankan,” katanya.

Lalu ia bertekad harus mengubah itu. Bagaimana caranya? Antara lain, ketika seorang politisi mendapat tugas dari negara, ia harus berubah dari seorang politisi menjadi seorang negarawan. Jangan lembaga kenegaraan direduksi oleh orang-orang politik dengan sikap sempit dan membangun oligargi partai, itu berbahaya.

Jika suatu hari nanti, misalnya, semua orang memilih PNBK dan Erros harus menjadi Presiden Indonesia, ia hanya akan menjalaninya sekali saja. Setelah pensiun akan membuat film lagi, membuat musik, dan menggelar konser. Sehingga ada perasaan yang menyenangkan yaitu menjadi berguna bagi orang lain.

Memasuki dunia politik ternyata tidak berarti Erros meninggalkan yang lain, seperti kegiatan kebudayaan. Baginya, aspek kesenian dan kebudayaan sangat membantu dalam memahami makna kehidupan. Kegiatannya sebagai seniman dan budayawan masih terus berjalan, masih mengarang lagu, menulis cerpen, menulis skenario, walaupun hanya untuk dinikmati sendiri. Semua kegiatan kebudayaan itu membuatnya tidak pernah merasa sepi. Sampai-sampai waktu seminggu itu kurang baginya.

Baginya kebudayaanlah yang membuat seorang manusia lebih mengenali dirinya, mengenal apa yang di luar dirinya, dan untuk semakin memperkuat jati diri. Ia akan terus melakukan ini sampai mati, karena itu ia merasakan kebudayaan sebagai anugerah yang luar bisa dari Tuhan.

Selain sibuk di partai, Erros merupakan orang yang suka bergaul dengan berbagai kalangan termasuk LSM. Ia juga suka merancang bisnis, tetapi mengaku tidak bisa menjadi direktur utama. Jabatan yang rasanya lebih pas adalah komisaris. Sebab, ia melihat dirinya itu tidak berbakat karena tidak bisa menipu. Padahal, menurut pengamatannya, seorang bisnisman harus bisa menjilat pejabat, bisa berbohong, bisa membohongi pajak dan menutupi banyak hal. Banyak temannya yang datang meminta konsultasi bisnis, ya diberikan tanpa biaya dan tarif. Hikmahnya adalah sekarang bisa buat partai.

Ia juga banyak melakukan kegiatan sosial seperti berkunjung ke pesantren. Pengalaman yang menarik adalah ketika bertemu para Kiai dan mengobrol. Tiba-tiba kiai itu memintanya menjadi sesepuh pesantren di Cirebon, padahal ia tidak mengerti banyak tentang dunia pesantren. Di samping itu, ia juga tidak memberi sumbangan uang kepada pesantren tersebut. Namun, karena kiai itu senang dengan karya-karya tulisannya, maka hubungan mereka pun menjadi dekat. Kegiatan lain yang masih dilakukan adalah menjalin komunikasi dengan rekan-rekan perfilman nasional.

Erros juga mengaku masih memiliki banyak impian yang belum tercapai. Terlalu banyak yang belum dicapai dalam merampungkan mimpi-mimpinya. Ia juga menganggap jabatan yang disandangnya saat ini hanya sementara.

“Bagi saya tidak pentinglah jabatan-jabatan ini semua. Pada saatnya ketika sebelum mati, saya tidak mau membayangkan dosa-dosa saya kepada rakyat. Kalau saya mati, saya telah mengerjakan pekerjaan saya yang belum selesai. Saya tak mau meninggalkan hutang, apalagi hutang kepada rakyat. Kalau saya dipanggil saya mau istirahat dengan damai. Tetapi selama saya hidup saya akan bekerja,” urainya.

Bekerja Keras dan keluarga
Ia memang dikenal sebagai seorang yang punya kemauan bekerja keras. Erros mengaku telah banyak pekerjaan yang dilakoninya, termasuk kerja kuli. “Saya pernah jadi kuli bangunan, pedagang di jalan, bahkan jadi kondektur,” katanya tanpa malu mengakui pekerjaan kasar itu. Dengan pekerjaan seperti itulah ia bisa memahami dan mendalami perasaan rakyat saat ini.

Erros mengaku sedih dan tidak begitu suka jika melihat pemuda-pemuda yang hanya mengandalkan uluran tangan dari orangtuanya. Sikap tersebut menurutnya ikut andil dalam menyuburkan korupsi. Sebab, orang tua akhirnya harus mencari pendapatan tambahan untuk menyenangkan hati anaknya. Maka, “jika bertemu pemuda-pemuda cengeng, ingin saya tempeleng rasanya,” katanya geram. Ia menunjukkan, kalau dirinya bisa bekerja keras, maka pasti siapapun juga bisa. Sekarang beranikah untuk tidak meminta-minta dan menanggung risiko hidup sendiri?

Menurut Erros, bekerja keras itu adalah proses untuk menjadi seorang pemimpin. Sebab orang yang tidak pernah mengalami penderitaan tidak akan pernah empati terhadap penderitaan. “Kita bisa maklumi kalau sekarang ini, banyak orang yang tidak mempuyai empati karena dulunya berasal dari status keluarga yang terhormat, sehingga tidak sempat berinteraksi langsung dengan rakyat dan tidak sempat mengadopsi penderitaan rakyat. Kecuali pendekatan yang sifatnya agak romantis,” ujarnya.

Peran isteri dan anak juga sangat penting. Diakuinya, isterilah yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Dituturkannya, sang isteri percaya kepadanya, mendorong perjuangan dan kiprahnya, serta mampu menjadi kawan hidup. “Dia teman saya berbicara, dia juga seorang yang bisa hidup dalam dunia politik.” Istri Erros adalah seorang Doktor di bidang hukum, yang ketika muda dulu adalah juga orang pergerakan. Jika Erros aktif di Jerman, istrinya aktif di Prancis. Keduanya bertemu di luar negeri sebagai sesama aktivis.

Agar sang istri memahami kehidupan rakyat secara utuh, tak segan-segan Erros menyuruhnya naik biskota, berdesakan dan bergelantungan di dalam biskota. Semua itu, menurutnya, agar meresapi penderitaan rakyat dan bukan sekadar tahu dari membaca di berbagai media massa.

Hingga saat ini Erros mengaku kadang-kadang masih suka naik biskota. Apakah istrinya menolak? Ternyata tidak. Semua itu adalah bagian dari proses pendewasaan diri dan pengenalan lingkungan secara utuh. Malah, menurutnya, sang istri sempat berkomentar negatif ketika suatu saat dirinya membelikan hadiah seperangkat baju dan parfum seharga 3 juta rupiah. Namun, istrinya tidak menerima hadiah itu dan berkomentar, “Kamu ini seperti orang gila saja. Yang seperti ini di pasar bisa dapat dengan harga 75 ribu, kenapa sih buang-buang uang untuk seperti ini?”

Erros mengaku sangat beruntung mendapatkan istri seperti itu. Selain itu, sang istri pun tidak pernah meminta dirinya untuk membelikan mobil Mercy, namun cukup Kijang. Istrinya pun, sebagai bekas aktivis, memahami kehidupan orang partai yang harus bekerja hingga malam dan bahkan tidak pulang. Tidak ada kecurigaan pada dirinya terhadap hal-hal yang sifatnya sentimentil. “Dia paham betul kalau saya itu banyak bergadang. Bahkan ketika pertama dia hamil, saya sedang mengetik untuk majalah Eropa, bisa sampai jam 3 pagi, jadi sudah terbiasa suasana gerakan. Itulah yang saya bisa simpulkan, yaitu tidak ada sukses seorang suami itu yang tidak didukung oleh isteri dan anak-anaknya.”

Dukungan seperti itu membuatnya menjadi tegar. Anak-anak pun sudah memahami peran dan pekerjaan orangtuanya. “Bagi saya keluarga itu tonggak di dalam seluruh perjalanan hidup dan karir saya. Kalau keluarga saya tidak membantu, tidak mungkin saya dapat setegar ini. Jadi peran keluarga sangat penting dalam menentukan karakter kepemimpinan saya. Karakter saya sebagai manusia dan karakter saya dalam menjalankan hidup seterusnya.”

Calon Presiden
Sebagai pimpinan partai ia menyatakan juga harus siap menerima amanah jadi presiden. “Jika partai saya menang untuk menjadi presiden, jangan pernah tidak siap menjadi presiden, tetapi jangan juga menjadi berambisi. Hanya tinggal diberi us semua bisa jadi hancur yaitu ambisius, makanya yang aman saja,” jelasnya.

Kalau sejarah menentukan dirinya harus menjadi presiden, maka ia akan jadi bapaknya orang Indonesia. Dan untuk itu harus keluar dari partai yang dibuatnya. Sebab kalau tidak akan menjadi penyakit lagi. Namun, tentu tidak semua orang PNBK akan menjadi elite penguasa republik. Kalau PNBK berbuat seperti itu, menurutnya, akan hancur negeri ini. Pertimbangannya adalah kualitas PNBK sendiri yang belum sejauh itu.

Ia akan mengambil pembantu yang terbaik. Tetapi jika memilih menteri, ia akan katakan, “Jika kamu memasuki pintu ini, tinggalkan baju kelompokmu, kalau tidak bisa, jangan. Sebab jika aku tahu kamu adalah begitu (korupsi atau mementingkan kelompok), anak-isterimu aku tanggung, sedangkan kamu ke Nusakambangan. Sikap keras harus ditunjukan, kalau tidak, tidak bakalan jalan republik ini.”

Namun, ketika menjadi persiden pun tidak mudah. Tidak bisa macam-macam. Menjadi seorang persiden harus mau bekerja sosial berbaur dengan rakyat kecil. Contohnya membantu anak-nak berprestasi ajak jalan-jalan ke Eropa, lalu dekat dengan anak-anak yatim piatu, mengajak bersama-sama makan dengan mereka. Soal dana pasti ada. Mengunjungi pesantren-pesantren yang perlu dibangun.

Ia juga akan menggunakan teknologi canggih untuk memonitor kinerja menterinya. Itu baru namanya presiden, tapi kalau hanya presiden-presidenan lain ceritanya. “I want to be a real presiden in a real nation”. Bukan seorang presiden yang takutnya sama mahasiswa, takut dikiritik. Mahasiswa dianggap musuh. Beraninya dengan mahasiswa, tetapi untuk menangkapi konglomrerat yang bermasalah, para penjahat politik, penjahat ekonomi, tidak pernah ada solusi. Begitu mahasiswa yang salah, ditangkapnya cepat sekali dan cepat diadili.

Untuk itu ia hanya mau menjadi presiden rakyat, bukan menjadi presiden yang kerjanya hanya hanya duduk di istana.

Erros, meskipun memahami tugas sebagai presiden, namun ia mengaku agak malas jika ditanya punya keinginan menjadi presiden. Sebab orang yang punya keinginan untuk menjadi presiden RI itu pasti mengidap suatu penyakit. Coba bayangkan dengan 42 juta pengangguran, percepatan lapangan kerja lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan pengangguran. Ini masalah yang sangat kompleks. Belum lagi institusi-institusi negara yang tidak karuan.

Jadi kalau ada orang yang masih mau jadi presiden berarti orang sakit, karena tidak mengerti masalah. “Makanya saya katakan jika ini amanah saya akan jalankan, orang tidak pernah mengerti juga. Karena kalau sudah ambisius dan punya keinginan yang besar mau jadi presiden pasti akan melakukan segala cara. Itulah yang saya hindarkan.”

Suasana Batin Rakyat
Ia merupakan seorang ketua umum partai yang sering berkunjung ke kecamatan-kecamatan bukan di hotel-hotel. Ia juga sering berjalan-jalan di malam hari berbicara dengan rakyat, pagi-pagi sering mengobrol dengan ibu-ibu di pasar. Hal itu menguatkan visinya akan perjuangan partai.

Erros menyadari bahwa partai politik merupakan media persiapan pemimpin nasional. Maka, sebaiknya seorang pemimpin partai terlebih dahulu harus memahami visi dan misi bangsa. Seperti apakah yang diinginkan oleh para pendiri republik ini? Seharusnya juga seorang pemimpin itu harus mampu menerjemahkan hal itu ke dalam visi dan misi partainya, serta harus memahami betul konteks hari ini. “National and Character Building” yang seperti apa bangsa ini atau sifat jiwa, roh dan tubuh bangsa ini akan seperti apa.

Saat ini, menurutnya, seluruh bangsa Indonesia merasakan adanya suatu situasi yang tidak sinkron antara apa yang dikerjakan dan dilakukan oleh para pendiri Republik dengan realita sekarang. Salah satu penyebab kegagalan itu, menurutnya, karena selama ini para elite politik senantiasa menjadi pusat perhatian, sedangkan keberadaan rakyat dinomorduakan.

Jika visinya adalah membawa Indonesia mencapai Indonesia Raya, maka misinya adalah bagaimana mengembangkan masyarakat Marhaenis dengan langkah awalnya membebaskan masyarakat kaum Marhaen dari statusnya yang sekarang yaitu terpinggirkan. Yang dimaksud rakyat Marhaen adalah kaum dhuafa atau masyarakat lapisan bawah dalam pandangan luas.

Erros mengaku prihatin dan sedih melihat ulah elite politik saat ini. Sementara rakyat masih dalam kondisi yang serba sulit dan gamang dalam mengahdapi masa depan, harga-harga melambung naik, biaya pendidikan menjadi selangit, namun para pemimpin bukannya memberikan arahan yang jelas atau sebuah enligment kepada rakyat, malah hanya sibuk untuk meperebutkan bangku nomor satu negara ini. Ia bertanya, apakah kelakuan yang seperti ini secara moral dibenarkan.

Elite politik terlalu fokus perhatiannya pada Pemilu. Pemilu itu adalah satu momentum di mana suara rakyat diarahkan ke sebuah pilihan. Menurutnya, selama ini kita berorientasi kepada titik itu, bukan kepada prosesnya, pemungutannya dan pasca pemilu. Ini berarti kemenangan partai tidak diimbangi dengan pemberdayaan konstituennya. Partai yang seperti ini hanya akan menjadi partai bagi pengurusnya saja. Artinya fungsi partai sebagai wadah aspirasi politik rakyat, sebagai lembaga pendidikan politik rakyat terbentur oleh kepentingan pengurusnya.

Melihat kondisi itu, Erros dengan PNBK tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Ia menyiapkan langkah konkrit yang akan dilakukannya di masa depan. Dimulai dengan menata infrastruktur partai sebagai sebuah instrumen partai politik. Kemudian menata sistem, karena sistem yang memungkinkan partai itu dibangun dengan sebuah kerangka dasar yang kuat.

Di PNBK setiap orang yang ingin masuk menjadi anggota DPRD harus membuat kontrak dalam bentuk tertulis di atas materai. Kontrak politik itu berisi tentang perjanjian bahwa setiap anggota DPRD dari PNBK wajib untuk setiap bulan memberikan laporan pertanggungjawaban tertulis kepada publik atau konstituennya. Jika dalam 2 kali kesempatan tidak melakukan hal tersebut anggota DPRD yang bersangkutan akan ditegur keras dan yang ketiga kali maka ia akan di-recall.

Karena PNBK adalah partainya rakyat, sehingga harus ada jalan bagaimana rakyat mempunyai akses ke partai, baik secara formal maupun informal. Yang formal dilakukan kaderisasi dari institusi ke bawah. Sedangkan yang informal melalui pemberian pemahaman kepada seluruh fungsionaris untuk melakukan sosialisasi ke tingkat bawah. PNBK saat ini sudah ada di 27 propinsi. Erros percaya 1/3 dari partai besar belum tentu menang melawan PNBK. 
(dpc-PNBK Kabupaten Bone)
Share this Article on :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright DPC PNBK KABUPATEN BONE 2010 -2011 | Design by Teluk Bone Powered by Blogger.com.